Balas Dendamnya Para ‘Ulama
Balas Dendamnya Para ‘Ulama
Kita sering mendengar nasihat dari para ‘ulama agar kita menghindari membalas perlakuan yang tidak mengenakkan, menghiasi diri dengan sifat pemaaf dan meninggalkan upaya balas dendam. Namun kalau kita membaca biografi para ‘ulama, diantara mereka ada yang melakukan ‘balas dendam’, al Imam al Hasan al Bashri misalnya.
Al Imam Ibnul Jawzi dalam kitabnya, Âdâbu al Hasan al Bashri, hal 30 menceritakan:
حاول الحسن الصلاة ليلةً فلم تطاوِعْه نفسُه، فجلس سائر الليل ولم ينم حتى اصبح، فسُئل في ذلك فقال: غلبتني نفسي على الطاعه، فغلبتُها على ترك النوم، وأيمُ الله لا ازالُ بها كذلك حتى تذِلَّ و تُطاوع
“al Hasan berusaha shalat (sunnah) pada suatu malam, namun (hawa) nafsunya tidak bersemangat untuk mengerjakannya, maka beliau duduk saja sepanjang malam tidak tidur hingga pagi. Beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab: nafsuku menngalahkan diriku ketika mau ta’at, maka (kubalas) mengalahkannya dengan meninggalkan tidur, demi Allah, aku senantiasa demikian hingga nafsu tersebut menjadi hina dan mau ta’at”
Mungkin jika dengan ungkapan kita: “wahai nafsu, engkau memang bisa menang hingga diri ini tidak mau khusyu’ dan tunduk kepada Allah, nah sekarang terima pembalasanku, engkau tidak bakalan tidur malam ini”. Seperti inilah ‘balas dendam’ yang bermanfa’at. Sayangnya kita sering menjadi orang yang ‘pemaaf’ dalam hal ini. Minggu ini nggak halaqoh, ah maafkan saja, toh masih ada minggu depan. Hari ini tidakmuthala’ah, ah maklum saja kita kan banyak ngurus anak-anak. Malam Jum’at tidak sempat tahajjud, ah kan sudah ada ‘amalan sunnah’ lain yang juga cukup melelahkan, tidak papa. Walhasil, sifat ‘pemaaf’ seperti ini yang membuat kita jauh berbeda dengan mereka, generasi sahabat dan tabi’in serta pengikut mereka.
Di kitab yang sama, Imam al Hasan al Bashri juga mengatakan: “sesungguhnya nafsu itu menyuruh berbuat jelek, jika dia tidak mau diajak ta’at, maka (balaslah) jangan mau dia ajak bermaksiat”.
***
Diantara adab mereka adalah makan sekadarnya saja, tidak sampai kenyang, namun kadang-kadang mereka makan sampai kenyang dalam rangka menghormati orang yang menjamu, lalu membalas ‘penyelisihan’ terhadap adab tersebut dengan ketaatan.
Abdurrazzâq menyatakan:
لَمَّا قَدِمَ سُفْيَانُ عَلَيْنَا طَبَختُ لَهُ قدرَ سِكْبَاجٍ فَأَكَلَ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِزَبِيْبِ الطَّائِفِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ: يَا عَبْدَ الرَّزَّاقِ اعْلِفِ الحِمَارَ، وَكُدَّهُ. ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي حَتَّى الصَّبَاحِ
Ketika Imam Sufyan ats Tsauri (w. 161 H) datang kepada kami, kami memasak untuknya sikbâj[1], maka beliau memakannya. Kemudian kuhidangkan zabib[2] thaif dan beliaupun memakannya, kemudian beliau berkata: “wahai Abdurrazzâq, Khimar (keledai) kalau dipenuhi makannya, maka dia akan giat bekerja”. kemudian beliau berdiri melaksanakan shalat hingga shubuh. (Siyaru A’lamin Nubala, 6/650. Maktabah Syamilah)
Bandingkan dengan kita, setelah kenyang makan, bawaannya tidur melulu, kalah dengan khimar. Kapan kita bisa mengakhiri prilaku
ini? Moga Allah menolong kita untuk mendidik nafsu kita dan meniti jalannya para ‘ulama tersebut.
Share pws
Komentar
Posting Komentar