Tawadhu pada Ulama

Menjaga kehormatan para Ulama dan Du'at merupakan kewajiban Syariat. Tidak halal kehormatan mereka dirubuhkan hanya lantaran kesalahan yang sifatnya sedikit. Sebab, yang menjadi perhatian, banyaknya kebaikan dan jasa mereka.
Orang yang obyektif, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Rajab dalam "Al-Qawaid", hlm. 3 adalah "Orang yang dapat memaklumi kesalahan orang lain yang sedikit dalam lautan kebenaran yang dimilikinya".
Ibnul Qayyim dalam "Madarij As-Salikin, 2/39 menambahkan: "Andai setiap orang yang keliru ditinggalkan dan dibuang kebaikannya, niscaya ilmu, hasil karya, dan aturan hukum akan rusak dan manfaatnya akan tertahan".
Dalam hadits shahih, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memberi isyarat akan hal tersebut, beliau bersabda:
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقاً رضي منها آخر
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang wanita mukminah (istrinya), karena jika ia tidak senang pada salah satu akhlaknya, maka ia dapat menerima dan meridhai akhlaknya yang lain. (HR. Muslim)
Ini dalam hal pergaulan dengan istri. Maka bagaimana terkait pergaulan dengan Ulama dan Du'at yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk agama Allah?! Mereka bukan Malaikat atau Nabi yang ma'shum. Mereka juga kadang salah dan keliru.
Makanya, saat Imam Al-Humaidi menyingkap beberapa kesalahan Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal pun menegurnya dengan tegas dan berkata: "Dari seratus masalah, hanya lima hingga sepuluh ia keliru di dalamnya. Tinggalkan yang salah lalu ambil yang benar!". (Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, Adab Asy-Syafi'i wa Manakibuh, hal. 44.)

Pandu

Komentar

Postingan Populer