Antara Historisitas Sumber Hukum Islam dan Historisitas Sebuah Konsensus


Antara Historisitas Sumber Hukum Islam dan Historisitas Sebuah Konsensus
.
.
Ada setumpuk alasan untuk menolak formalisasi Hukum Islam dan menerima produk legislasi "konvensional". Mulai dari alasan yang naif sampai yang canggih, mulai dari alasan yang terlihat anti Islam sampai yang terlihat Islami, ada semua. Yang terakhir itu lebih efektif, paling tidak karena dua hal: pertama, diungkapkan oleh tokoh-tokoh yang -bagi kalangan tertentu- dianggap punya modal untuk bicara tentang Islam; kedua, pandangan mereka tampak "Islami", yang dengan mendengarnya, orang bisa menerima produk sekularisme sambil tetap merasa Islami.

Misalnya, mereka berbicara bahwa apa yang dianggap sebagai Hukum Islam itu sebenarnya hanya didasarkan pada keputusan-keputusan ad hoc pada masa kenabian. Hukum itu dicetuskan untuk menyelesaikan kasus tertentu pada konteks situasi tertentu, baik itu keputusan di dalam Al-Qur'an maupun yang dikeluarkan oleh Nabi saw. Mereka bilang: Al-Qur'an dan Nabi saw sendiri tidak pernah memproyeksikan agar keputusan-keputusan kontekstual itu kelak menjadi preseden hukum yang wajib ditiru untuk memecahkan berbagai kasus dalam konteks ruang-waktu dan situasi yang berbeda-beda. Yang dituntut oleh Islam di tengah zaman yang terus berubah dan kondisi yang beragam adalah nilai di balik keputusan-keputusan hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah, bukan bentuk formal dari keputusan itu sendiri. Dengan begitu, tidak ada hukum Islam yang kaku dan rigid, kata mereka. Produk legislasi asing pun bisa dipandang sebagai hukum yg Islami jika untuk merealisasikan nilai-nilai yang dituntut oleh Islam. Ini yang mereka katakan tentang hubungan Al-Qur'an dan As-Sunnah terhadap situasi dan kondisi kesejarahan yang melingkupi keduanya.

BTW, lagi-lagi soal inkonsistensi, hehe maaf jika anda bosen mendengarnya. Kalau mereka sudah bicara soal "konsensus para pendahulu", mereka selalu keras mengatakan bahwa: "konsensus itu sudah final, siapa pun yang ingin mengubahnya berarti mengkhianati para pendahulu". Pertanyaannya: mengapa mereka tak pernah mengait-ngaitkan konsensus itu dengan situasi dan kondisi politik yang melingkupinya? Mengapa mereka tak pernah menganalisa kondisi sejarah yang mungkin menggiring sebagian pendahulu itu untuk menempuh kompromi? Mengapa mereka tak pernah mendiskusikan keadaan yang mungkin memaksa sebagian pendahulu itu untuk "mundur sejenak" demi mendapatkan ruang dan waktu untuk menyusun kekuatan dan strategi demi idealisme yang belum juga padam? Kenapa konsensus itu seolah mereka anggap hadir dalam ruang konsong, netral dari pengaruh situasi dan kondisi kesejarahan yang menyelubunginya? Padahal Al-Qur'an aja, yang Kalamulllah itu, selalu mereka "seret-seret" sekuat tenaga untuk dikaitkan dengan konteks kesejarahannya. Kenapa kalau bicara soal Hukum Islam mereka bicara begitu, tapi kalau bicara soal konsensus mereka bicara begini? Kok tidak konsisten? Apakah mereka sehat? hehe

Komentar

Postingan Populer