Dalil = Al-Qur'an dan Hadis?

Dalil = Al-Qur'an dan Hadis?
Suatu ketika saya ditanya, mana dalil yang mewajibkan qadha shalat dhuhur ketika seorang wanita haidh telah suci di waktu ashar.

Saya mencoba menjelaskan bahwa itu merupakan pendapat dari jumhur ulama. Karena shalat dhuhur dan ashar itu satu kesatuan atau satu paket. Maka ketika suci di waktu ashar seseorang juga dikenai kewajiban dhuhur, begitu juga suci di waktu isya seseorang juga dikenai kewajiban maghrib. Bukti dia satu paket adalah disyariahkannya shalat jama'. Dua shalat dalam satu waktu.  Dan pendapat para ulama yang muktamad itu sudah merupakan dalil bagi kita yang awam. (Karena saya juga belum tahu dan tidak tahu sampai sekarang dalil dari Al-Qur'an dan hadis tentang hal tersebut. Melainkan itu adalah hasil ijtihadiyah para ulama).

Ternyata si penanya memaksa minta dalil. Saya mencoba memahami apa maksud dan yang diinginkan penanya. Rupanya dia meminta dalil dari Al-Qur'an dan hadis. Dia beranggapan ketika disebut dalil maka yang di maksud adalah Al-Qur'an dan hadis.

Sebuah anggapan yang tidak salah. Cuma perlu dipahami, bahwa makna dalil tidak sesempit itu. Karena dalil tidak bisa hanya dibatasi pada Al-Qur'an dan hadis saja. Dalil yang muttafaq atau disepakati saja ada empat. Diantaranya dan paling utama adalah Al-Qur'an dan hadis serta ijma' dan qiyas. Belum lagi dalil yang tidak disepakati tapi digunakan oleh para ulama untuk mengistinbath atau mengetahui suatu hukum. Yaitu qaul shahabiy (Pendapat para sahabat), istihsan, mashlahah mursalah, urf (adat yang tidak bertentangan dengan syara'), syar'u man qablana (Syariat umat terdahulu), saddud dzari'ah dan istishab.

Dalil tidak mesti berupa nash. Karena dalil terbagi kepada dua,
1. Manshush (Nash Al-Qur'an dan hadis/dalil naqli)
2. Ghair Manshush (Dalil Aqli) seperti qiyash, ijma', istihsan, mashlahah mursalah dan yang lainnya.

Jangan kita membatasi dalil pada Al-Qur'an dan sunnah, sehingga menafikan atau melupakan yang lainnya. Kalau dalil hanya dipahami pada al-qur'an dan sunnah akan terjadi kekosongan hukum di dunia. Karena masa turunnya al-qur'an telah berakhir. Dan nabi SAW telah wafat. Sedangkan masalah kian hari kian muncul dan baragam. Begitu banyak masalah yang tidak ada secara tekstual disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadis hukumnya, dan masalah tersebut membutuhkan status hukum yang jelas. Maka ketika masalah tidak ada hukumnya dalam dalam Al-Qur'an dan hadis, menuntut para ulama atau mujtahid untuk berijtihad. Hasil Ijtihad inilah yang kemudian kita yang awam ini ikuti.

Saya teringat perkataan salah seorang dosen kita Dr. Muradh Haidar suatu ketika beliau ditanya, "apa pendapat anda wahai doktor terhadap seseorang yang selalu bertanya mana dalilnya?" beliau menjawab: "Orang tersebut tidak beradab". 

Kenapa sampai beliau berpendapat demikian. Karena hal tersebut seolah menghina ulama atau mufti atau seseorang yang ditanya. Meragukan keilmuannya. Seolah mereka tidak memakai dalil dalam berpendapat atau berfatwa. Sedangkan kapasitas dia penanya hanyalah orang awam. Sama halnya hal di atas. Pendapat para ulama madzhab fiqih yang muktamad sudah cukup bagi kita yang awam. Tanpa perlu kita mengorek-ngorek lebih dalam apakah pendapat mereka berlandaskan Al-Qur'an atau hadis.

@Wallahua'alam bis showab.
Mohon dikoreksi jika ada yang keliru.
Sy lupa tulisan siapa ini, ada di rumah fiqih

Komentar

Postingan Populer