HUKUM MENJUAL BARANG YANG BELUM DITERIMA

HUKUM MENJUAL BARANG YANG BELUM DITERIMA

Gambaran:

1. A membeli barang ke B, sudah terjadi transaksi, namun barang belum diterima oleh A (misal: masih dalam pengiriman), namun A langsung menjual barang tersebut ke C.

2. A sebagai penjual online membeli barang ke B (produsen/distributor besar), terjadi transaksi, namun A langsung meminta B mengirimkan barangnya ke C, karena barang tersebut telah dijual A ke C, dan jelas B belum menerima barang tersebut.

Apa hukumnya?

1. Syafi'iyyah, Muhammad bin Al-Hasan dan Zufar dari kalangan Hanafiyyah, dan Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat, sebagaimana dihikayatkan oleh Abul Khaththab dan dipilih oleh Ibnu 'Aqil berpendapat: Tidak boleh menjual apapun sebelum ia diterima oleh si penjual, dan jual beli barang yang belum diterima ini batal hukumnya secara mutlak,

Di antara dalil yang mereka gunakan adalah hadits-hadits shahih yang cukup banyak, yang menunjukkan terlarangnya menjual makanan sebelum diterima. Di antaranya adalah hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه

Artinya: "Siapa saja yang membeli makanan, janganlah ia jual kecuali setelah ia terima (makanan tersebut)." (Muttafaq 'alaih)

Dan barang yang lain diqiyaskan dengannya. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma dalam riwayat Imam Muslim: "Aku menganggap semua hal sama posisinya dengan makanan".

2. Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat terlarangnya menjual segala sesuatu yang barangnya bisa dipindahkan, sebelum ia diterima, sedangkan barang yang tak bisa dipindahkan seperti rumah dan tanah boleh dijual sebelum diterima.

Dalil yang mereka gunakan sama dengan kelompok pertama, hanya saja mereka kecualikan darinya tanah dan bangunan. Di antara alasan mereka mengecualikan ini adalah, tanah dan bangunan itu tidak bisa dipindah, sedangkan serah-terima (qabdh) yang haqiqi itu hanya terjadi pada barang yang bisa dipindahkan saja.

Kemudian, alasan dilarangnya menjual barang yang belum diterima adalah karena dikhawatirkan barang tersebut telah rusak sebelum sampai sampai ke pembeli berikutnya, sehingga terjadi gharar dalam jual beli tersebut. Adapun tanah dan bangunan, kemungkinan ia rusak saat proses jual-beli sangat jarang, dan hal yang sangat jarang tak teranggap dalam hukum.

3. Mayoritas Hanabilah menyatakan bahwa larangan menjual barang yang belum diterima, berlaku pada makanan saja secara mutlak, baik ia ditakar, ditimbang, maupun lainnya.

Di antara dalil yang mereka gunakan adalah bahwa hadits-hadits yang menyebutkan larangan menjual barang yang belum diterima itu, khusus untuk makanan secara mutlak. Mafhumnya, selain makanan berarti boleh dijual sebelum diterima.

Adapun barang selain makanan, Hanabilah membedakan antara barang yang ditakar/ditimbang/dihitung/dihitung panjangnya, dengan yang bukan. Untuk barang yang ditakar/ditimbang/dihitung/dihitung panjangnya, tidak boleh dijual sebelum ia terima, karena itu masih menjadi tanggungan dari penjual pertama. Adapun untuk barang yang tidak ditakar/ditimbang/dihitung/dihitung panjangnya, maka boleh dijual sebelum diterima.

4. Malikiyyah berpendapat bahwa larangan menjual barang yang belum diterima, khusus untuk makanan dan minuman yang ditakar/ditimbang/dihitung saja. Sedangkan selainnya, tidak terlarang.

Di antara dalil yang mereka gunakan adalah dalil yang digunakan kalangan Hanabilah, dan itu mereka bawa hanya pada makanan.

Wallahu a'lam.

Catatan:

1. Perincian pendapat ulama di atas, saya ambil dari kitab "Fiqh Al-Buyu' Wa Al-Muassasat Al-Maliyyah", karya 'Abdul Wahhab 'Abdus Salam Thawilah, terbitan Darussalam, Mesir, cetakan ke-1, 1437 H/2016 M, pada bahasan "At-Tasharruf Fi Al-Mabi' Qabla Qabdhihi".

2. Gambaran fakta di bagian awal tulisan, saya buat sendiri.

3. Jika ada kesalahan pada penggambaran fakta, atau ada kesalahan dalam memahami isi kitab yang saya jadikan rujukan, silakan dikoreksi. Yang mengoreksi kesalahan pemahaman saya terhadap isi kitab, tentu untuk yang pernah membaca kitab tersebut.

4. Yang saya tulis di atas hanya ringkasan saja. Pembahasan yang lebih panjang dan rinci, bisa baca di kitab yang saya jadikan rujukan, atau di rujukan primer, yaitu kitab-kitab mu'tamadah pada masing-masing madzhab.

5. Jangan tanya saya, yang rajih yang mana, atau pendapat saya apa.

~ Muhammad Abduh Negara ~

Komentar

Postingan Populer