Hati-hati wahai diriku

Hati-hatilah, Wahai Diriku!

Al ustadz Fadil Mulyono

Ketika melihat ibadahku yang tidak seberapa dibanding orang lain, aku pun beralasan "Sederhana dalam sunnah itu lebih baik".
Sampai akhirnya tidak ada yang meningkat dari kuantitas maupun kualitas ibadahku.

Ketika kelompokku yang mendapatkan musibah, aku pun berdalih, "Inilah ujian bagi ahlussunnah dan cara Allah meninggikan derajat orang yang istiqamah".
Akhirnya akupun beranggapan tidak ada yang salah pada diriku.

Akan tetapi ketika kelompok yang beda afiliasi mendapatkan musibah, aku pun mengucap, "Begitulah apabila manhaj tidak lurus. Tidak akan ada kesuksesan, kecuali dengan manhaj sunnah, bersama ustadz2 dan pengajian sunnah yang istiqamah".
Akhirnya akupun mengkerdilkan dakwah dan perjuangan kaum Muslimin yang diluar golonganku.

Ketika kelompok-kelompok lain semua membenciku, aku pun berujar, "Sebagaimana Yahya bin Ma'in, aku pun lebih rela sendirian menghadapi ahlul bid'ah dibandingkan harus bergabung bersama mereka".
Sampai tidak ada yang lebih tajam bagi kaum Muslimin yang lain dibandingkan lisanku.

Ketika orang beda pengajian memberikanku nasihat, hatiku pun bergumam, "Seperti Ayyub as-Sikhtiyani, jangankan satu kalimat. Setengah kalimat pun aku tak rela 'tuk mendengar".
Jadilah orang yang sangat sulit menerima nasihat orang lain, itulah diriku.

Ketika melihat teman-teman beda pengajian khusyu' dalam ibadah-nya, akupun tak mau terpukau karena kata al-Auza'i, "syaithanlah yang meletakan rasa cinta terhadap beribadah dan rasa khusyu'".
Sampai rasa khusyu' itupun hampir tidak pernah datang ke dalam dadaku.

Ketika melihat teman-teman beda pengajian rajin membaca al-Qur'an, maka akupun bergumam, "Bacaan al-Qur'an mereka tidak akan melewati kerongkongan mereka".
Sampai Facebook telah berubah menjadi sesuatu yang paling banyak menyita waktuku.

Ketika dalam sebuah mesjid aku dapati ustadz yang tak kukenal sedang memberikan pendapat yang aku tidak mengetahuinya, aku pun langsung beranjak pergi sambil bergumam, "Hati ini lemah. Dan syubhat itu menyambar-nyambar".
Dan akhirnya aku pun berkeyakinan, manusia yang benar hanyalah afiliasi pengajianku dan diriku.

Ketika aku melihat orang-orang yang tidak sependapat denganku dalam masalah khilafiyyah, "Begitulah ahlul bid'ah, mereka lebih susah tobat dibanding pelaku maksiat".
Makin jumawalah penilaianku sendiri terhadap diriku.

Ditengah-tengah penderitaan kaum Muslimin disekitarku, aku pun masih sempat mempertanyakan, "Apakah mereka sudah sunnah dan sudah ngaji salaf?"
Sampai hilanglah tawhid sebagai tolak ukur al-Walaa' wal-Baraa' dalam diriku.

Hati-hatilah, wahai diriku!

Cak Ikhsan.

Share : dewa lee

Komentar

Postingan Populer