Jangan Berfatwa Tanpa Ilmu

Hal yang sudah dipahami bersama di kalangan ulama dan thullabul ‘ilm, bahwa tidak semua orang mampu menggali sendiri kandungan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagian orang memiliki ilmu yang cukup untuk melakukan penggalian hukum dan pemahaman dari al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka inilah yang disebut sebagai mujtahid. Sedangkan bagi yang tidak memiliki dasar-dasar ilmu untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara benar, maka orang seperti ini diwajibkan mengikuti orang-orang yang memiliki kemampuan, mereka wajib bertaqlid, dan mereka dinamakan sebagai muqallid atau muqallid ‘aammi.

Di tengah-tengah mujtahid dan muqallid, ada lagi kelompok orang yang memiliki sebagian alat untuk berjitihad, namun belum sempurna, sehingga mereka belum mampu berijtihad sendiri. Mereka berbeda dengan muqallid ‘aammi, karena mereka memiliki sebagian ilmu untuk berijtihad, sedangkan muqallid ‘aammi tidak. Mereka inilah yang dinamakan muttabi’ atau muqallid muttabi’. Seorang muttabi’ mengikuti pendapat mujtahid setelah mengetahui dalil dan istidlal yang digunakan oleh mujtahid tersebut.

Jadi, bisa disimpulkan, kedudukan seseorang terhadap hukum syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, terbagi menjadi tiga, yaitu:

(1) Mujtahid, yaitu orang yang memiliki kemampuan berijtihad atau menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan cukupnya ilmu yang dimilikinya.

(2) Muqallid atau muqallid ‘aammi, yaitu orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu untuk berijtihad, ia tidak memahami dalil dan cara menggunakan dalil, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyimpulkan hukum sendiri langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia harus bertaqlid pada seorang mujtahid.

(3) Muttabi’ atau muqallid muttabi’, yaitu orang yang belum mencapai derajat mujtahid, namun ia telah memiliki sebagian ilmu untuk berijtihad. Orang seperti ini mengikuti pendapat seorang mujtahid setelah mengetahui dalil dan argumentasi yang dikemukakan mujtahid tersebut. Pada keadaan tertentu, ia pun bisa melakukan tarjih atas beberapa pendapat mujtahid, dan memilih pendapat yang dianggapnya paling kuat dan kokoh hujjahnya.

(Untuk pendalaman tema ini, silakan baca: al-I’tisham karya asy-Syathibi (terbitan Daar Ibn ‘Affan , 2/852-862); Ushul al-Fiqh al-Islami karya az-Zuhaili (terbitan Daar al-Fikr, 2/1119-1135); al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Muhammad Husain ‘Abdullah (terbitan Daar al-Bayariq, 2/361-372); dan kitab-kitab ushul fiqih lainnya)

Salah satu fenomena menarik sekaligus miris akhir-akhir ini adalah munculnya sekelompok anak muda pengajian yang begitu mudah menyalahkan, membid’ahkan, menyesatkan bahkan men-syirik-kan suatu perbuatan dan pelakunya, tanpa pengkajian yang dalam dan sikap adil dalam menilai. Dan lebih disayangkan lagi, ternyata anak-anak muda ini adalah orang yang baru belajar Islam, baru mengikuti kajian Islam yang diasuh oleh ustadz-ustadz tertentu, yang kadang kajian tersebut tidak memberi penjelasan tentang adanya perbedaan pendapat dalam tema-tema yang mereka bahas.

Baru tahu satu dua ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi, namun sering mereka ‘bergaya’ ala alim besar, memberi fatwa dengan begitu mudahnya, memberi label halal-haram, sunnah-bid’ah, dengan begitu tergesa-gesa. Ketika dijelaskan bahwa ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut, dengan sigap mereka berkata, ‘yang kita ikuti adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan qiila wa qaala’, atau ‘yang kita ikuti adalah Allah dan Rasul-Nya, bukan ulama A atau ulama B’. Sepertinya mereka tak sadar, bahwa mereka pun sebenarnya bertaqlid pada penjelasan ustadznya, yang bisa jadi keilmuan ustadz tersebut di bawah ulama A atau ulama B.

Sebenarnya tidak masalah menganggap bahwa pendapat yang mereka ikuti sekarang adalah pendapat yang benar atau sesuai sunnah, dan pendapat yang lain keliru atau bid’ah. Namun jika perkara tersebut merupakan bagian perkara ijtihadi, yang para ulama besar pun berbeda pendapat, tidak elok rasanya jika mereka tidak menghormati adanya perbedaan tersebut. Atau malah jangan-jangan mereka tak memahami apa itu perbedaan pendapat? Atau mereka tak memahami apa itu ijtihad dan apa itu taqlid?

Shared by : Irie

Komentar

Postingan Populer