hati Hati Terhadap Fatwa si Jahil
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja dari manusia setelah memberikannya kepada mereka. Akan tetapi Allah mencabut ilmu tersebut dari mereka dengan mematikan ulama berserta ilmu mereka, lalu tinggallah orang-orang jahil (bodoh) yang dimintai fatwa, kemudian mereka pun berfatwa dengan pendapat akal mereka, maka (jadilah) mereka itu tersesat lagi menyesatkan. (HR.Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa akan datang masa di mana orang-orang bodoh berani berfatwa meski tanpa ilmu. Padahal kewajiban berfatwa itu ada dipundak para ulama yang memiliki ilmu syar’i yang memadahi. Haram hukumnya berfatwa tanpa ilmu syari. Dalil-dalil syar’i mencapai derajat mutawatir dalam menetapkan dan menekankan kaidah ini.
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini karam’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung,” (An-Nahl: 116).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa tersebut. Barangsiapa menganjurkan satu perkara kepada saudaranya seagama sementara ia tahu bahwa ada perkara lain yang lebih baik berarti ia telah mengkhianatinya.” (HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad)
Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Abbas r.a. menceritakan tentang seorang laki-laki di zaman Nabi saw. yang terluka pada bagian kepalanya, kemudian malamnya ia mimpi basah. Lalu ia disuruh mandi. Maka ia pun mandi. Selesai mandi tubuhnya kejang-kejang lalu mati. Sampailah beritanya kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Bukankah bertanya merupakan obat kebodohan’?” (HR Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Hakim)
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Bagi yang tahu hendaklah mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang tidak tahu hendaklah mengatakan, Allaahu a’lam. Sebab termasuk ilmu adalah mengatakan, ‘Aku tidak tahu’ dalam perkara yang tidak ia ketahui ilmunya.” Sebab Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya, “Katakanlah (hai Muhammad), (Aku tidak meminta upab sedikitpun ke-padamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan,” (Shaad: 86).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab I’laamul Muwaqqi’iin ‘an Rabbil ‘Aalamiin [1/7-8] mengatakan, “Apabila kedudukan sebagai juru bicara raja merupakan kedudukan yang sangat terhormat, semua orang tahu kemuliaannya dan merupakan kedudukan yang paling tinggi, lalu bagaimanakah pula kedudukan (sebagai) juru bicara Raja langit dan bumi SWT? Orang yang diangkat sebagai juru bicara Allah haruslah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, ia harus menyadari betapa agung kedudukannya tersebut. Janganlah dadanya merasa berat untuk mengatakan kebenaran dan menyatakannya. Karena sesungguhnya Allah menolongnya dan menunjukinya. Bagaimana tidak, itulah kedudukan yang Allah sendirilah yang menanganinya, Dia berfirman, “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an’,” (An-Nisaa’: 127).
Para ulama Salaf sangat takut mengeluarkan fatwa. Mereka sadar betul kedudukannya serta bahayanya bila memang tidak mampu. Mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak mau mengeluarkan fatwa hingga mereka anggap sudah layak untuk berfatwa. Namun mereka lebih suka dilepaskan dari tugas tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Aku telah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah melainkan ia berharap temannya yang lainlah yang menjawabnya,” (HR Ad-Daarimi)
Dari keterangan tersebut cukup jelas bahwa kita harus berhati-hati terhadap fatwa atau pengajaran orang-orang jahil (bodoh) yang senang berfatwa dan mengajar tanpa bekal ilmu yang memadahi. Karena sangat banyak kita temui sekarang manusia jahil yang berani memfatwakan suatu hukum yang berkaitan dengan fiqih, padahal perbedaan isim dan fi'il aja tidak paham, sementara bahasa arab adalah tingkatan paling dasar sebelum lebih mendalami ilmu fiqih. Hati hati menerima fatwa wlo yang memberi fatwa, ketika di dunia maya ngaku sedang di pesantren.
Pandu
Komentar
Posting Komentar