Urgensi ilmu bahasa arab
:: Urgensi Ilmu Bahasa 'Arab ::
Dewasa ini di rancah dakwah Islam di Nusantara semakin 'memanas' karena munculnya dai-dai yang berpemahaman dangkal. Adakalanya dai karbitan, dai keturunan, atau bahkan dai pasaran. Hanya sebatas lancar berbicara di mimbar dan forum, dianggaplah ia sebagai dai dan segera masyarakat menganugrahinya gelar "ustas" dan "kiai" meski ia tidak memiliki perbendaharaan ilmu bahasa 'Arab yang cukup apalagi perbendaharaan ilmu semacam 'aqidah, fiqih, tafsir, hadits, dan seterusnya. Bagaimana seorang dikatakan pandai syariat sementara dasarnya saja tidak tahu-menahu. Tidak mungkin Al Quran dan Hadits bisa dipahami kecuali dengan bahasa Arab karena memang bahasanya adalah bahasa 'Arab.
Sehingga ustas yang bukan ustadz ini menyebarkan hal-hal aneh dan rendahan dalam dakwahnya. Menyebarkan kesesatan dan kebidahannya kepada khalaya'. Orang bodoh membodohi orang bodoh lainnya. Maka jadilah kericuhan dalam memperaktekkan agama.
Di negeri ini sangat mudah seseorang memperoleh gelar "ustas" dan "kiai". Sangat mudah. Padahal syarat mutlak menjadi ustadz adalah pandai ilmu nahwu. Sebagaimana dinyatakan Ustadzuna, guru kami, ketika belajar Mutammimah Al Ajurumiyyah karya Abu 'Abdulloh Al Haththob Al Maliki dalam ilmu nahwu.
Berikut saya nukilkan pernyataan Imam Jalaluddin As Suyuthi tentang urgennya ilmu bahasa Arab. Beliau berkata dalam Syarah Alfiyahnya: "Dan para ulama telah bersepakat bahwa ilmu nahwu diperlukan dalam seluruh disiplin dari disiplin-disipiln ilmu. Terlebih tafsir dan hadits. Karena sesungguhnya tidak diperkenankan seorang pun untuk berbicara tentang kitab Allah, Al Quran, sampai ia pandai bahasa Arab. Karena Al Quran berbahasa Arab dan maksud-maksudnya tidak akan dipahami kecuali dengan mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Demikian pula dengan hadits.
(Imam Abu 'Amru) Ibnush Sholah berkata, "Sepantasnya bagi seorang ahli hadits tidak meriwayatkan haditsnya dengan bacaan lahn (keliru). Berikutnya diriwayatkan dari Abu Dawud, "Aku mendengar Al Ashma'i berkata, 'Sesungguhnya kekhawatiran yang paling aku takutkan atas penuntut ilmu adalah jika ia tidak mengetahui ilmu nahwu akan terjerumus ke dalam sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam: "Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka." Karena sesungguhnya beliau shollallohu 'alaihi wa sallam tidak melakukan lahn.
Maka selama engkau meriwayatkan dari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dan engkau berlaku lahn, engkau telah berdusta atas namanya
Sebagian ualama mengatakan:
"Siapa yang terluput darinya ilmu nahwu, itulah kebisuan...
Dan pemahamannya dalam segala ilmu merugi...
Kedudukannya di pandangan makhluk akan terinjak...
Jika didebat ia bakal terputus (terbungkam)...
Dia tidak akan ditunjuki kepada hikmah dalam dzikir
Dan ia akan terbelenggu kemusykilan dalam berfikir..."
Al Baihaqi mencatat bahwa Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar rodhiyallohu 'anhum selalu memukul anak-anaknya karena berbuat lahn. Beliau juga mentakhrij sebuah riwayat dari Ibnul Mubarok, beliau berkata: "Seseorang tidak akan ditermia semacam pun dari ilmu-ilmu selama ia tidak menghiasi ilmunya dengan bahasa Arab."
Dan sesungguhnya mempelajari ilmu nahwu menghasilkan kuat dan mantapnya akal. Diriwayatkan dari 'Umar bin Al Khoththob rodhiyallohu 'anhu: "Pelajarilah bahasa Arab. Karena sesungguhnya dengan mempelajarinya akan meneguhkan akal dan menambah muruah."
Sebagai bentuk penyempurnaan faidah, beriku saya nukilkan tentang hukum belajar ilmu nahwu. Berkata penulis Mukhtashor Jiddan syarh Al Ajurumiyyah: "Dan hukum syariat mempelajarinya adalah wajib kifayah atas setiap penduduk daerah dan menjadi wajib aini atas setiap orang yang membaca tafsir dan hadits."
______________*
Riwayat-riwayat di atas dinukil dari muddimah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan untuk Mukhtashor Jiddan syarh Al Ajurumiyyah.
Share by: NJ
Komentar
Posting Komentar